Lahan Sawit Perusahaan di Luar HGU akan Disita dan Dijadikan Plasma 20%

22 Jul 2025 | Kategori: Politik Dan Pemerintah | 99 views

Bagikan:
Lahan Sawit Perusahaan di Luar HGU akan Disita dan Dijadikan Plasma 20%

Jakarta,Pemerintah menunjukkan ketegasan dalam menertibkan penguasaan lahan perkebunan sawit yang melampaui batas izin Hak Guna Usaha (HGU).

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan bahwa lahan sawit yang kelebihan dari izin HGU dan belum memiliki sertifikat, akan diambil negara dan wajib diserahkan ke masyarakat dalam bentuk program plasma.

Pernyataan ini disampaikan Nusron dalam acara Diskusi Publik dan Rakernas PB IKA-PMII 2025–2030 di Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Ia mencontohkan sebuah perusahaan sawit yang memiliki izin HGU seluas 10 ribu hektare, namun di lapangan ternyata mengelola hingga 12 ribu hektare. Menurutnya, kelebihan 2 ribu hektare itu bukan untuk terus dikuasai perusahaan, melainkan harus dikembalikan kepada rakyat.

“Kalau perusahaan belum punya plasma, maka kelebihan lahan HGU yang belum bersertifikat itu akan diambil oleh negara dan diserahkan kepada masyarakat sebagai kebun plasma,” ujar Nusron dalam keterangannya dikutip Senin (21/7).
Ia menjelaskan bahwa kewajiban memiliki kebun plasma minimal 20 persen dari luas HGU adalah aturan yang berlaku bagi semua perusahaan kelapa sawit. Namun sayangnya, dalam praktiknya banyak perusahaan belum memenuhi hal itu. 

Pemerintah kini tak lagi tinggal diam dan akan menertibkan pengelolaan lahan sawit agar lebih adil dan berpihak kepada masyarakat lokal.

Dalam kesempatan yang sama, Nusron juga membahas soal tanah yang belum terpetakan tetapi sudah dimanfaatkan oleh masyarakat, khususnya kebun rakyat. Untuk kasus seperti ini, kata dia, negara akan mengambil pendekatan legalisasi agar tanah tersebut memiliki kekuatan hukum yang sah.

“Kalau yang memanfaatkan adalah kebun rakyat, kita diminta untuk memproses legalisasi. Ini bagian dari solusi pemerintah terhadap permasalahan tanah yang belum bersertifikat,” ucapnya.

 Tak hanya itu, Nusron juga membuka ruang bagi koperasi dan pondok pesantren untuk bisa memanfaatkan lahan hasil reforma agraria. Namun, ia menekankan bahwa pemanfaatan lahan harus tetap mengikuti tata ruang yang berlaku.

Jika peruntukannya adalah untuk pertanian atau perkebunan, maka tidak bisa sembarangan dibangun fasilitas lain seperti gedung pondok pesantren.

“Pondok pesantren boleh memanfaatkan tanah itu lewat koperasi, tapi harus sesuai tata ruang. Kalau peruntukannya pertanian, tidak bisa digunakan untuk bangunan,” jelasnya.

“Kalau ujug-ujug datang dari luar daerah, apalagi dari Jakarta, tidak bisa. Ini bentuk afirmasi kita kepada masyarakat sekitar,” tandasnya.

Dalam forum tersebut, Nusron mengungkapkan data bahwa hingga pertengahan 2025, terdapat sekitar 14,4 juta hektare tanah di Indonesia yang belum bersertifikat, atau sekitar 20,5 persen dari total luas tanah nasional. Sementara itu, tanah yang telah tersertifikasi mencapai 55,9 juta hektare.

Kondisi ini mendorong pemerintah untuk mempercepat program reforma agraria dan redistribusi tanah. Melalui pendekatan legalisasi bagi kebun rakyat dan pengambilalihan kelebihan lahan oleh negara, pemerintah ingin memastikan bahwa tanah menjadi alat produksi bagi masyarakat, bukan sekadar aset korporasi.

Komentar

Loading komentar...